KH. Moh. Chozin Salim: Pendiri Yayasan Wasilatul Huda Dukohkidul

 


KH. Moh. Chozin Salim lahir pada tahun 1940 dan merupakan putra pertama dari K. Moh Salim dan Nyai Amsikah. Ayahandanya (K. Moh. Salim) adalah tokoh agama yang dihormati dan dicintai oleh masyarakat Desa Dukohkidul Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro.


Pasca kelahirannya, Kakeknya yang bernama Abdul Ghani dengan bangga menimangnya dan salah satu kalimat yang diucapkan ketika itu adalah “yo iki sing bakal dadi sucane agama neng Desa Dukoh” (Ya ini yang akan menjadi cikal bakal tegaknya agama di Desa Dukohkidul). 


Hal itu yang sering diceritakan ibunya (sebut: Mbah Kah) saat menceritakan kelahiran anak pertamanya tersebut. Hal Itu adalah harapan dan doa dari seorang kakek yang mengharapkan cucunya kelak menjadi pribadi yang shalih, karena anak yang shalih adalah salah satu dari tiga hal yang tidak akan terputus pahalanya.


Sosok kepemimpinan sudah nampak ketika beliau masih kecil, salah satunya adalah ketika beliau masih kelas 1 SR (Sekolah Rakyat) beliau memita ayahnya (Mbah Lim) agar mendirikan sebuah musholla.


Sekilas Jejak Pendidikannya

Tahun 1953 masuk Sekolah Guru B (SGB 4 th) Tuban, tapi setelah ditempuh 2 tahun tidak dilanjutkan karena sakit typus selama sekitar 4 bulan. Hal itu mungkin karena kurang mendapat restu dari neneknya dari pihak ibu (mbah Kiswati). 


Salah satu contoh kejadian yang masih diingat adalah ketika liburan SGB dan berada di rumah, mbah kiswati sering mendengar cucunya tersebut menghafalkan rumus-rumus pelajaran ilmu pasti, kemudian mbah Kiswati menegur dalam bentuk kalimat tanya “suk mben nek wiridan opo ngunukuwi to piye?” (Kelak kalau wiridan apa ya begitu?)


Hingga akhirnya beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan SGB tersebut dan memilih masuk Pondok Pesantren Abu Dzarrin pada tahun 1955 yang diasuh oleh KH. Abu Dzarrin. Beliau menimba ilmu di sana selama kurang lebih 4 tahun. Beliau melanjutkan penimbaan ilmunya di pondok Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH. Musta’in Romli selama kurang lebih 3 bulan.


Tidak lama di sana beliau kemudia pada tahun 1959 masuk pondok Sarang yang diasuh oleh Kyai Imam Cholil, juga mengaji kepada Kyai Ahmad Syu’aib, Kyai Zubair, Kyai Maimun Zubair (putra Kyai Zubair), Kyai Abdul Rohim, Kyai Mabrur. Sampai pada tahun 1962 (awal tahun) pulang/boyong dari pondok Sarang.


Mendirikan MI Wasilatul Huda

Sepulang dari Pondok, pada tahun 1964 beliau mendirikan Madrasah Ibtidaiyah bekerja sama dengan masyarakat serta tokoh masyarakat desa Dukohkidul dan sekitarnya, di antaranya desa Ngantru, Sambong, Penggik, Mbesaran. 


Pada waktu awal berdirinya MI beberapa kali dipanggil oleh camat dan kepolisian karena mendapat laporan dari beberapa kepala SD bahwa banyak murid SD yang pindah sekolah ke MI, intinya dimintai keterangan mengenai kepindahan murid-murid tersebut apakah pindah karena paksaan atau keinginan mereka sendiri.


Dan menurut beberapa sumber, yang memberikan nama “Wasilatul Huda” itu sendiri adalah beliau sendiri. Jadi bisa dikatakan, bahwa beliau memanglah cikal bakal perjuangan agama Islam di Desa Dukohkidul yang melalui lembaga pendidikan.


Menjadi Guru Agama

Tahun 1963 beliau mengikuti Ujian Guru Agama (UGA) dan mendapat pengangkatan dan ditugaskan di SD Ngasem I&II dan di SD Ngadiluwih selama satu tahun, kemudian dipindah tugas ke SD Trenggulunan dan SD Butoh juga selama satu tahun (waktu itu tempat tugas bisa lebih dari satu sekolahan) praktis waktu itu hanya bisa mengontrol MI dari jauh. 


Kemudian setelah satu tahun ditugaskan kembali di MI Wasilatul Huda Dukohkidul.


Lalu pada tahun 1964 mendirikan gedung MI bersama masyarakat, ada beberapa orang yang menyumbangkan rumah dan ada yang menyumbang sapi.


Pernikahan

Pada tahun 1965 beliau dijodohkan dan menikah dengan Mu’anah yang masih kelas 5 SD (Mu’anah tetap sekolah sampai lulus SD, kemudian melanjutkan sekolah ke Muallimin 4 tahun Nglingi hanya sekitar setengah tahun, kemudian dipondokkan ke Kendal juga sekitar setengah tahun, karena tidak kerasan di pondok kemudian melanjutkan kembali di Sekolah Muallimin Nglingi sampai lulus).


Tahun 1971 dikaruniai putra pertama yang bernama Ahmad Fauzi. Tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1974 beliau dipindah tugas ke SD I&II Cancung dan SD I&II Clebung kecamatan Bubulan. 


Mengenai pindah tugas ini ada kemungkinan sebab, yaitu karena beliau aktivis NU yang waktu itu sedang memiliki hubungan yang kurang baik dengan pemerintah orde baru (induknya partai Golkar dan menginstruksikan kepada seluruh pegawai negeri agar menjadi anggota Golkar), sehingga beliau dipindah tugas ke daerah selatan wilayah kabupaten Bojonegoro tersebut yang waktu itu bisa dikategorikan sebagai daerah pelosok.


Mengenai keaktifan di NU beliau tidak hanya aktif secara kultural tapi juga secara struktural, bahkan beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua MWCNU Ngasem, hanya saja belum ditemukan cataan tahun masa khidmah beliau sebagai Ketua MWCNU tersebut.


Semangat perjuangannya tidak hanya berkobar di desanya sendiri, meski beliau ditugaskan di desa Bubulan, semangat perjuangannya tetap bergelora dengan mendirikan MTs Bubulan pada tahun 1976 bersama masyarakat sekitar yang diberi nama MTs Tauhidiyah, setelah mengajar MTs kemudian mendapat pengangkatan sebagai guru MTs. Dan bahkan pada tahun 1984 sudah mendirikan filial MTs Tauhidiyah di daerah Gondang.


Tahun 1985 dipindah tugas ke MTs Pungpungan sekitar setengah tahun kemudian pindah tugas ke MTs Nglingi dan pada tahun 1987 diangkat menjadi kepala sekolah MI Wasilatul Huda Dukohkidul yang dulu didirikannya bersama masyarakat.


Tahun 2001 pensiun, akan tetapi beliau tetap aktif mengajar, mendidik dan mengurus pondok Wasilatul Huda bersama adik-adiknya.


Itulah sejarah singkat riwayat pendidikan dan tugas formal beliau. Selain itu, sejak pulang dari pondok Sarang beliau terus berusaha mengamalkan ilmu dan mengabdikan dirinya kepada masyarakat lewat organisasi maupun dengan cara memberi pengajian kepada para santri atau lewat majlis taklim di masyarakat.


Beliau melaksanakan ibadah haji pada tahun 2015 dan pada tahun berikutnya, tepatnya pada hari Ahad Legi, 27 Nopember 2016 atau 27 Shafar 1438 H. Jam 14.30 WIB. Beliau wafat.


Sejak beliau mengawali berdirinya lembaga pendidikan Wasilatul Huda hingga beliau wafat, Wasilatul Huda telah banyak mengalami perkembangan dan telah menjadi yayasan yang memiliki beberapa lembaga pendidikan baik yang formal yaitu PAUD, RA, MI, MTs, SMAI maupun lembaga maupun non-formal yaitu TPQ, Madin Ula, Madin Wustho, Majlis Taklim dan Pondok Pesantren.


Di antara sifat yang menonjol pada diri beliau adalah sifat sabar, mengalah dan istiqomah.

Ada beberapa nasehat yang pernah beliau utarakan dan patut kita ingat untuk kita jadikan pegangan, misalnya:


1. Nek sekolah utowo mondok ojo niat kanggo golek penggawean, tapi kudu niat (murni) golek ilmu, insyaallah masalah penggawean bakal diatur karo gusti Allah.

2. Ngurusi jamaah iku kudu terus lan ora enek enteke.

3. Usahakno ojo pingin urip songko yayasan, tapi isoho urip-urip yayasan.

4. Dadi pimpinan iku ora kudu manggon ngarep terus.


Demikianlah sejarah singkat perjalanan perjuangan beliau, semoga kita bisa mengambil pelajaran dan bisa meneruskan perjuangan beliau. 



Biodata: 


Nama: KH. Moh. Chozin

Ayah: K. Moh. Salim

Ibu: Amsikah

TTL: Tahun 1940

Istri: Hj. Mu’anah (Wafat: Selasa Pahing, 1 Sept 2009 / 11 Ramadlan 1430 H. Jam 10.00 WIB). 

Anak:  


1. Ahmad Fauzi, S.Pd.

2. Nurul Lutfiyah, S.Pd.I.

3. Afifurrohman, S.HI.

4. Nurul A’Yuni, S.Hum.

 

 

0 Komentar